BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Istilah fenomena sudah menjadi sebuah kata yang tidak
asing lagi di telinga kita. Namun yang menjadi pertanyaan, apakah hanya sekedar
kata yang sudah biasa di pakai atau hanya sebuah istilah yang menjadi kata penghias dalam
pembicaraan. Pada
milenium ketiga ini, banyak fenomena-fenomena yang terjadi, baik secara langsung kita sadari maupun yang tidak kita sadari. Fenomena-fenomena
yang “masih panas” dan menjadi persoalan yang kerapkali diperbincangkan dalam
media masa; salah satunya tentang “global warming”. Adapun fenomena yang
baru saja kita alami yakni bencana alam. Khususnya di Indonesia kita dapat
melihat fenomena-fenomena alam yang sering menimpa negeri kita yang tercinta
ini. Fenomena alam yang tidak diketahui kapan dan apa yang menyebabkannya
terjadi, antara lain misalnya saja; meluapnya lumpur Lapindo di Sidoarjo dan
gelombang Tsunami di Aceh. Memang kita yakin bahwa penyebabnya ialah
keserakahan dan ketidakpuasan manusia akan sumber daya alam. Dalam hal ini,
ketidakpuasan dari manusia akan kebutuhan hidup
Agama adalah ekspresi simbolik yang bermacam-macam dan
juga merupakan respon seseorang terhadap sesuatu yang dipahami sebagai nilai
yang tidak terbatas. Ekspresi simbolik merupakan karakteristik utama dalam
memahami makna agama. Dengan demikian, tema pokok penelitian ilmiah terhadap
agama adalah fakta agama dan pengungkapannya atau dalam bahasa sederhananya upaya
menjadikan agama sebagai sasaran penelitian. Data-data yang digunakan diperoleh
melalui pengamatan terhadap kehidupan dan kebiasaan keagamaan manusia ketika
mengungkapkan sikap-sikap keagamaannya dalam tindakan-tindakan seperti doa,
ritual-ritual, konsep-konsep religiusnya, kepercayaan terhadap yang suci dan
sebagainya. Meskipun membicarakan hal yang sama, berbagai disiplin mengamati
dan meneliti dari aspek-aspek tertentu yang sesuai dengan tujuan dan
jangkauannya.[1]
Penelitian agama tidak cukup hanya bertumpu pada konsep
agama (normatif) atau hanya menggunakan model ilmu-ilmu sosial, melainkan
keduanya saling menopang. Peneliti yang sama sekali tidak memahami agama yang
diteliti, akan mengalami kesulitan karena realitas harus dipahami berdasarkan
konsep agama yang dipahami.[2]
Berangkat dari permasalahan tersebut, pendekatan-pendekatan metodologis dalam
studi atau kajian tentang agama secara terus menerus mendapat perhatian cukup
besar dari para intelektual agama. Dalam perkembangannya kemudian dirumuskan
berbagai pendekatan yang diadopsi atau berdasarkan disiplin-disiplin keilmuan
tertentu seperti sejarah, filsafat, psikologi, antropologi, sosiologi termasuk
juga fenomenologi. Pendekatan yang diupayakan untuk sekilas dibahas dalam
tulisan ini adalah pendekatan fenomenologi agama, dalam pengertian sebuah
kajian yang dilakukan untuk memahami esensi (makna) dan atau melalui
manifestasi fenomena keagamaan dari agama tertentu.
B.
Rumusan
Masalah
Dari latar belakang masalah diatas
dapat disusun sebuah rumusan masalah sebagai berikut :
1.
Siapa tokoh yang mencetuskan
pendekatan Fenomenologi dan bagaimana pengertian dari pendekatan fenomenologi
agama itu?
2.
Bagaimana cara kerja fenomenologi
agama dalam studi agama?
3.
Bagaimana agama di pandang oleh
pendekatan ini dan siapa yang menciptakan agama pada pendekatan ini, dan contoh kasus yang
dapat di selesaikan dengan pendekatan ini?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Fenomenologi
Kata fenomenologi berasal dari bahasa Yunani, phenomenon, yaitu sesuatu
yang tampak, yang terlihat karena berkecakupan. Dalam bahasa indonesia
biasa dipakai istilah gejala. Secara istilah, fenomenologi adalah
ilmu pengetahuan (logos)tentang apa yang tampak. Dari pengertian
tersebut dapat dipahami bahwa fenomenologi adalah suatu aliran yang
membicarakan fenomena atau segala sesuatu yang tampak atau yang menampakkan
diri. Seorang Fenomenolog suka melihat gejala Fenomenolog bergerak di
bidang yang pasti. Hal yang menampakkan dirinya dilukiskan tanpa meninggalkan
bidang evidensi yang langsung. Fenomenologi adalah suatu
metode pemikiran, “a way of looking at things”. Pendekatan fenomenologis
memusatkan perhatian pada pengalaman subyektif. Pendekatan ini berhubungan
dengan pandangan pribadi mengenai dunia dan penafsiran mengenai berbagai
kejadian yang dihadapinya. Pendekatan tersebut mencoba memahami kejadian
fenomenal yang dialami individu tanpa adanya beban prakonsepsi.[3]
menurut Taufik
Abdullah, setidaknya penelitian agama pada umumnya bermuara pada tiga poin
utama, yaitu:
1. Menempatkan agama sebagai doktrin yang berangkat dari keinginan
mengetahui esensi ajaran dan kebenaran agama, sebagaimana dilakukan para
mujtahid dan pemikir agama. Dalam hal ini kajian didalamnya adalah ilmu-ilmu
keagamaan atau juga perbandingan agama (religionwissenschaft)
2. Memahami struktur dan dinamika masyarakat agama, dimana agama
merupakan awal dari terbentuknya suatu komunitas atau kesatuan hidup yang
diikat oleh keyakinan akan kebenaran hakiki yang sama dan memungkinkan
berlakunya suatu patokan pengetahuan yang juga sama. Sehingga, meskipun berasal
dari suatu ikatan spiritual, para pemeluk agama membentuk masyarakat sendiri
yang berbeda dari komunitas kognitif lainnya. (sosiologi, antropologi, sejarah
dst.)
3. Mengungkapkan sikap anggota masyarakat terhadap agama yang dianutnya
(psikologi agama). Jika kategori pertama mempersoalkan substansi ajaran dengan
segala refleksi pemikiran terhadap ajaran; kategori kedua meninjau agama dalam
kehidupan sosial dan dinamika sejarah; kategori ketiga adalah usaha untuk
mengetahui corak penghadapan masyarakat terhadap simbol dan ajaran agama.[4]
B.
Tokoh Dalam Pendekatan Fenomenologi
Mengkaji fenomena keagamaan berarti
mempelajari perilaku manusia dalam kehidupannya beragama. Ilmu pengetahuan
social dengan caranya masing masing, atau metode, teknik, dan peralatannya,
dapat mengamati dengan cermat perilaku manusia itu.[5] Sehingga
dimungkinkan ditemukannya segala unsur yang menjadi komponen terjadinya
perilaku itu, juga “makna terdalam dan substansi sejati” yang tersembunyi
dibalik gejala tersebut. Hal ini sudah barang tentu berlaku juga untuk semua
fenomena keberagamaan (religious phenomenon) manusia.
Untuk pertama kali, untuk melacak
tokoh-tokoh yang berperan penting melahirkan fenomenologi dalam pengertiannya
yang generik dan fenomenologi agama sebagai “anak kandungnya”, maka seyogianya dimulai dari filsof Swiss.[6]
Dalam kerja penelitiannya,
fenomenologi dapat mengacu pada tiga hal, yaitu: filsafat, sejarah, dan pada
pengertian yang lebih luas. Dengan demikian “fenomenologi agama” dalam acuan
yang pertama menghubungkan dirinya sebagai salah satu disiplin ilmu. Adapun
acuan yang kedua memasukkan pendapat tentang sejarah agama.
Dengan sendirinya mereka
mempergunakan religi sederhana sebagai data, dan
meletakkan ekspresi keagamaan dalam bentuk simbol seperti bentuk-bentuk upacara
keagamaan sebagai fokus perhatiannya. Acuan ketiga adalah penerapan metode
fenomenologi secara lebih luas. Metode ini biasa diterapkan dalam menelaah atau
meneliti ajaran-ajaran, kegiatan-kegiatan, lembaga-lembaga, tradisi-tradisi,
dan simbol-simbol keagamaan. Edmund Husserl memproklamasikan filsafat fenomenologi,
yaitu oleh Chantaphus de la Saussaye, ahli studi agama dari Belanda, dalam
bukunya Lehrbuch
der Religionsgechichte (1887). Namun dalam
perkembangannya ia memang sangat dipengaruhi metode fenomenologi filosofis
Husserlian, melalui apoche dan eidetic vision. Meski sempat dianggap metode paling memadai
untuk mengkaji inti atau hakikat agama, metode ini dihujani kritik yang
bertubi-tubi semenjak pasca perang dunia II, karena dianggap terlalu mereduksi
hakikat agama kepada struktur pengalaman keagamaan yang platonik.[7]
C.
Pengertian Fenomenologi Agama
1.
Menurut
G.W.F. Hegel
Dalam bukunya “The Phenomenology of The Spirit”
yang diterbitkan pada 1806, Hegel berpendapat bahwa fenomenologi berkaitan
dengan pengetahuan sebagaimana tampak kepada kesadaran, sebuah ilmu yang
menggambarkan apa yang dipikirkan, dirasa dan diketahui oleh seseorang dalam
kesadaran dan pengalamannya pada saat itu. Proses tersebut mengantarkan pada
perkembangan kesadaran fenomenal melalui sains dan filsafat “menuju pengetahuan
yang absolut.” Hegel mengembangkan pemahaman bahwa esensi (wesen)
dipahami melalui penyelidikan terhadap tampilan-tampilan dan perwujudan atau
manifestasi (erschinugnen). Ia menunjukkan bagaimana hal itu
mengantarkan kepada satu pemahaman bahwa semua fenomena dalam keberagamannya,
berakar pada esensi atau kesatuan mendasar (geist atau spirit).
Hubungan antara esensi dan manifestasi tersebut memberikan pemahaman bahwa
agama dan keagamaan merupakan sesuatu yang berbeda.[8]
2.
Edmund
Husserl
Edmund Husserl,
seorang filsuf Austria adalah tokoh yang dianggap memberikan landasan filosofis
pendekatan intuitif non-empiris dalam fenomenologi. Dalam beberapa bukunya
“Logische Unterschungen,” “Ideen zu einer reinen Phanomenologie,” “Formale und
transzendentale Logik” dan “Erfahrung und Urteil” ia mengatakan rumusan
tersebut berangkat dari mainstream pemikiran pada saat itu bahwa
“science alone is the ultimate court of appeal” (sains adalah satu-satunya
pengadilan tertinggi). Hal itu menunjukkan bahwa metode ilmiah adalah
satu-satunya metode untuk mencapai kebenaran dan mengesampingkan pengetahuan-pengetahuan
yang lain.
Menurut Husserl,
fenomenologi merupakan sebuah kajian tentang struktur kesadaran yang
memungkinkan kesadaran-kesadaran tersebut menunjuk kepada objek-objek diluar
dirinya. Dari sana Ia kemudian memunculkan istilah “reduksi fenomenologis.”
Bahwa suatu pikiran bisa diarahkan kepada objek-objek yang non-eksis dan riil.
Reduksi fenomenologis tidak menganggap bahwa sesuatu itu ada, melainkan
terdapat “pengurangan sebuah keberadaan,” yaitu dengan mengesampingkan
pertanyaan tentang keberadaan yang riil dari objek yang dipikirkan. Berangkat dari
asumsi tersebut Husserl kemudian merumuskan dua konsep yang kemudian menjadi
landasan utama dalam kajian fenomenologi. Dua konsep tersebut
adalah epochè dan eiditic vision.
a.
Epoche Vision. Kata epochè berasal dari bahasa Yunani berarti “menunda
semua penilaian” atau “pengurungan” (bracketing). Hal ini berarti bahwa
fenomena yang tampil dalam kesadaran adalah benar-benar natural tanpa dicampuri
oleh presuposisi pengamat. Karena pada dasarnya membawa konsep-konsep dan
konstruk-konstruk pandangan adalah sesuatu yang mempengaruhi dan merusak hasil
penilaian.
b.
Eidetic
vision berarti “yang terlihat” atau pengandaian
terhadap epochè yang merujuk pada pemahaman kognitif (intuisi)
tentang esensi, ciri-ciri yang penting dan tidak berubah dari satu fenomena
yang memungkinkan untuk mengenali fenomena tersebut.[9]
D.
Fenomenologi Agama
Fokus utama
fenomenologi agama adalah aspek pengalaman keagamaan, dengan mendeskripsikan
atau menggambarkan fenomena keagamaan secara konsisten dalam orientasi keimanan
atau kepercayaan objek yang diteliti. Pendekatan ini melihat agama sebagai
komponen yang berbeda dan dikaji secara hati-hati berdasarkan sebuah tradisi
keagamaan untuk mendapatkan pemahaman di dalamnya. Fenomenologi agama muncul
dalam upaya untuk menghindari pendekatan-pendekatan yang sempit, etnosentris
dan normatif dengan berupaya mendeskripsikan pengalaman-pengalaman agama dengan
akurat.
Menurut
Noeng Muhadjir, secara ontologis pendekatan fenomenologi dalam penelitian agama
mengakui empat kebenaran (sensual, logik, etik, transendental). Hanya
saja kebenaran transenden dibedakan antara kebenaran insaniyah dan kebenaran
ilahiyah. Kebenaran ilahiyah diperoleh dengan menafsirkan dan mengembangkan
maknanya akan tetapi tetap tidak mampu menjangkau kebenaran substansialnya.
Selain itu menurutnya, jika positivisme menekankan objektivitas mengikuti
metode-metode ilmu alam (natural sciences) dan bebas nilai (value
free), maka fenomenologi memiliki landasan dan berorientasi pada
nilai-nilai (value-bound) seperti kemanusiaan dan keadilan.[10]
Dalam
pandangan Kristenen, fenomenologi agama merupakan cabang, disiplin atau metode
khusus dalam kajian-kajian agama. Jika fenomenologi Saussaye lebih dipengaruhi
oleh sejarah, Kristenen berpendapat bahwa sejarah agama dan filsafat saling berhubungan
dan mempengaruhi sebagai pelengkap kajian fenomenologi. Sebagaimana Saussaye,
Kristenen berpendapat bahwa tujuan utama fenomenologi agama adalah mencari
“makna” fenomena keagamaan. Hanya saja Kristenen menambahkan bahwa pencarian
makna fenomena keagamaan tersebut adalah dalam konteks keimanan masing-masing
orang. Kristenen juga berpendapat bahwa tidak cukup hanya dengan mengelompokkan
atau mengklasifikasikan fenomena sebagaimana dipahami oleh masing-masing
tradisi keagamaan, akan tetapi juga dituangkan dalam sebuah pemahaman.[11]
E. Cara Kerja Pendekatan
Fenomenologi Agama
Setidaknya
ada enam langkah atau tahapan pendekatan fenomenologi dalam studi agama yang
ditawarkan oleh Geradus Van der Leeuw dalam bukunya “Religion in essence and
manifestation: A study in phenomenology of religion” :
1. Mengklasifikasikan fenomena keagamaam dalam kategorinya
masing-masing seperti kurban, sakramen, tempat-tempat suci, waktu suci,
kata-kata atau tulisan suci, festival dan mitos. Hal ini dilakukan untuk dapat
memahami nilai dari masing-masing fenomena.
2. Melakukan interpolasi dalam kehidupan pribadi peneliti, dalam arti seorang
peneliti dituntut untuk ikut membaur dan berpartisipasi dalam sebuah
keberagamaan yang diteliti untuk memperoleh pengalaman dan pemahaman dalam dirinya
sendiri.
3. Melakukan “epochè” atau menunda penilaian (meminjam istilah Husserl)
dengan cara pandang yang netral.
4. Mencari hubungan struktural dari informasi yang dikumpulkan untuk
memperoleh pemahaman yang holistik tentang berbagai aspek terdalam suatu agama.
5. Tahapan-tahapan tersebut menurut Van der Leeuw secara alami akan
menghasilkan pemahaman yang asli berdasarkan “realitas” atau manifestasi dari
sebuah wahyu.
6. Fenomenologi tidak berdiri sendiri (operate in isolation) akan
tetapi berhubungan dengan pendekatan-pendekatan yang lain untuk tetap menjaga
objektivitas.[12]
F.
Agama dalam pendekatan Fenomenologi
dan siapa yang Menciptakan Agama, serta Contoh kasus yang dapat diselesaikan
oleh Pendekatan Fenomenologi
Fenomenologi
pada dasarnya merupakan kritik terhadap ilmu-ilmu lama yang dianggap kaku.
Dalam pendekatan fenomenologi Islam tidak lagi dipahami hanya dalam pengertian
historis dan doktriner saja, tetapi telah menjadi fenomena yang kompleks. Islam
tidak hanya terdiri dari rangkaian petunjuk formal, melainkan telah menjadi
sebuah sistem budaya, peradaban, komunitas politik, ekonomi dan bagian sah dari
perkembangan dunia. Mengkaji dan mendekati Islam, tidak lagi mungkin hanya dari
satu aspek, karenanya dibutuhkan metode dan pendekatan interdisipliner. Dengan demikian,
studi Islam layak untuk dijadikan sebagai salah satu cabang ilmu favorit.
Artinya studi Islam telah mendapat tempat dalam percaturan dunia ilmu
pengetahuan.
Dalam studi
agama terdapat dua aspek yang harus dibedakan, yaitu apa yang disebut dengan general pattern dan particular
pattern. General pattern adalah sesuatu yang pasti ada pada setiap
agama, di luar kemampuan pemeluknya, seperti: kepercayaan, ritual, teks suci,
leadership, histori serta konstitusi, dan morality, inilah yang disebut
dengan fundamental structure dari agama. Seorang peneliti harus
bersifat obyektif dalam mengkaji hal tersebut. Ketika general
pattern tersebut dirinci maka lahirlah apa yang dinamakan particular
pattern. Setiap agama memiliki particular pattern yang berbeda, misalnya
dalam hal kepercayaan Islam mempunyai konsep tauhid sedangkan Kristen berpegang
konsep pada trinitas, dalam hal ibadah Islam mempunyai sholat sedangkan Kristen
mempunyai kebaktian. Dalam menilai particular pattern ini lebih banyak
peneliti yang bersifat subyektif karena berhubungan langsung dengan keyakinan
dirinya. Jadi
pendekatan fenomenologi dapat diartikan sebagai upaya-upaya yang dilakukan
untuk melahirkan satu disiplin tersendiri yang bersifat obyektif dalam kajian
agama yang disertai dengan metodologi tersendiri pula. Mudahnya, pendekatan
fenomenologi adalah pendekatan yang mencoba menggabungkan sifat obyektif dan
subjektif yang ada dalam diri setiap pengkaji agama.
Terdapat dua hal
penting yang menjadi karakteristik pendekatan fenomenologi,karakteristik pertama,
pentingnya netralitas. Artinya studi agama dengan pendekatan fenomenologi lebih
menekankan upaya pemahaman seorang pengkaji agama terhadap agama yang dianut
orang lain. Dengan demikian, seorang pengkaji diharapkan untuk sementara mengesampingkan
pemahaman dan komitmen terhadap agama yang dianut, dan pada waktu yang sama
mencoba mendekati agama orang lain berdasarkan pemahaman dan pengalaman
penganut agama itu sendiri. Karakteristik kedua adalah mengklasifikasi fenomena menembus batas-batas
komunitas agama, budaya, dan bahkan kategorisasi- kategorisasi peristiwa
sejarah (epoch).[13]
Dalam
kenyatannya, pendekataan fenomenologi ini tidak dapat berdiri sendiri, akan
tetapi membutuhkan bantuan pendekatan-pendekatan yang lain, seperti: kalam,
antropologi, hermeneutic, sosiologi, histori, dan yang lain. Cara fenomenologi
mengetahui fakta atau data dengan kata lain bagaimana cara fenomenologi
memperoleh pengetahuan. Caranya adalah dengan menatap langsung kejadian atau
keadaan atau benda atau realitas yang menggejala. Menurut Prof.Dr.N Driyarkaya
membuat uraian tentang fenonenologi dalam bukunya adalah :
Fenomenologi adalah terusan dari fenomenon
dan logos, kata logos yang disini yang menjadi logi tak perlu diterangkan
karena sudah dikenal dalam banyak susunan seperti sosiologi, etnologi, biologi
dan lainya. Jadi fenomenologi berrti uraian atau percakapan tentang fenomenon atau yang sedang menampilkan diri.
Menurut cara berfikir berbicara filsafat dewasa ini dapat juga dikatakan
sesuatu hal ynag menggejala.
Kutipan diatas
menegaskan bahwa objek fenomenologi itu adalah fakta atau gejala atau keadaan,
kejadian atau benda atau realitas yang sedang menggejala. Realitas yang
menggejala itu akan diambil pengertiannya menurut tuntunan realitas itu
sendiri, artinya pengertian yang sebenarnya dari realitas itu, misalkan
pengertian yang sudah terpengaruh oleh warna sesuatu teori tertentu atau
pengertian yang popular sebelumnya.[14]
Menurut
Prof.Dr.N Driyarkaya, Edumund Husserl (1859 – 1983) sebenarnya bertujuan akan
menerangkan bahwa pengertian atau pengetahuan manusia benar-benar ada dan
mempunyai obyek. Hussel berangkat dari pendapat bahwa manusia
itu dapat mengkap realitas dengan cara yang alam, dengan spontan dengan
bermacam-macam cara penggunaan indera, melihat, mendengar, maraba dan menangkap
dunia. Tetapi menurut pandangannya bahwa pengetahuan tentang obyek realitas
dengan alami atau spontan demikian itu, belum cukup bagi filosof. Filosof ingin
memperoleh kebenaran yang sempurna dengan cara meneruskan pengetahuan spontan
tersebut dengan merenungkannya dan memikirkannya. Pengetahuan spontan diyakini
masih mengandung unsur-unsur subjektif. Dari harus ditinggalkan, artinya tidak
dipakai sebelum diperoleh pengetahuan yang lebih mendalam. Terhadap pengetahuan
spontan demikian itu harus diadakan penyaringan, harus diadakan reduksi. Sehingga nantinya akan
tinggal fenomenon dalam wujud yang semurni-murninya.
Pengetahuan fenomenon yang murni dan asli, realitas yang murni
dan yang asli. Pengetahuan spontan tentang realitas bukanlah pengetahuan yang
sebenar-benarnya. Realitas murni dan sebenarnya berada di balik fenomenon yang
menggejala yang kita tatap dengan langsung itu. Filosofis ingin menemukan
realitas yang murni yang berada di balik realitas yang menggejala itu. Ini
adalah tujuan Husserl dengan fenomenologinya.[15]
G.
Contoh Kasus
1. Berjihad dengan melakukan bom bunuh diri yang
dilakukan Imam Samudera dan kawan-kawan yang menurut saya merupakan sebuah
fenomenologi agama yang perlu ditelusuri lebih dalam apa yang menjadi
penyebabnya.
Kalau kita telusuri dengan pendekatan fenommenologi
dapat saya uraikan sebagai berikut :
a.
Jihad menurut Imam Samudera dkk
itu apa ?
b.
Tujuan dari pengeboman yang
mereka lakukan untuk apa ?
c.
Sasaran pengeboman mereka siapa ?
d.
Siapa musuh mereka ?
Dari beberapa pertanyaan diatas kita dapat
memahami bahwa pendekatan fenomenologi tidak bisa seorang peneliti langsung
menarik kesimpulan, harus banyak muncul pertanyaan terlebih dahulu. Setelah
sudah cukup banyak mendapat inti sari baru temukan esensi dan ciri-ciri yang
kemudian kita berikan titik temunya. Hal itu dilakukan sesuai dengan teori menurut Edmund Husserl yang merumuskan 2
konsep, yakni Epoche Vision dan Eiditic Vision.
BAB III
KESIMPULAN
Fenomenologi
berasal dari bahasa Yunani pahainomenon yang berarti gejala atau apa
yang menampakkan diri pada kesadaran kita.Beberapa tokoh menguraikan
bahwa,setidaknya fenomenologi agama dapat dipetakan dalam tiga arus besar,
yaitu: (1) fenomenologi agama diartikan sebagai sebuah investigasi terhadap
fenomena-fenomena atau objek-objek, fakta-fakta dan peristiwa agama yang bisa
diamati; (2) fenomenologi diartikan sebagai sebuah kajian komparatif dan
klasifikasi tipe-tipe fenomena agama yang berbeda; dan (3) fenomenologi agama
diartikan sebagai cabang, disiplin atau metode khusus dalam kajian-kajian
agama. Singkatnya, pendekatan fenomenologi ialah ingin menempatkan pengetahuan
pada pengalaman manusia serta mengaitkan pengetahuan dengan hidup dan kehidupan
manusia sebagai konteksnya.
Langkah-langkah penelitian yang akan
dilakukan diharapkan akan menghasilkan :
1. Deskripsi tentang tidak saja ajaran, tetapi juga berbagai bentuk
ekspresi keagamaan yang bersifat tata-upacara, simbolik atau mistis.
2. Deskripsi tentang hakikat kegiatan keagamaan, khususnya dalam
hubungannya dengan bentuk ekspresi kebudayaan.
3. Deskripsi tentang perilaku keagamaan, berupa; Deskripsi
ontologis dan deskripsi psikologis
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah Taufik & M. Rusli Karim
(ed.), Metodologi Penelitian
Agama; Suatu Pengantar .Yogyakarta: Tiara Wacana, 2004
Dhavamony, Maria susai. Fenomenologi Agama terj. Tim Studi
Agama Drikarya .Yogyakarta : Kanisius,1995
Erricker Clive. Pendekatan Fenomenologis dalam Peter Connolly (ed.), Aneka
Pendekatan Studi Agama.Yogyakarta: LkiS, 2009
Martin, Richard C. (Ed)., Pendekatan Kajian Islam dalam Studi Agama., Terj.
Zakiyuddin Bhaidawy, Cet. II, Surakarta:
Muhammadiyah University Press, 2002
Mudzhar ,Atho. Pendekatan Studi Islam dalam Teori dan Praktek .Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2007
Muhadjir Noeng. Metodologi Penelitian Kualitatif. Yogyakarta: Rake Sarasin, 1989
Permata, Ahmad Norma (Ed. dan pent), Metodologi Studi Agama, Cet. I,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000
Romdon. Metodologi Ilmu Perbandingan Agama. Jakarta: Grafindo Persada,
1996
Soekanto, Soejono, Sosiologi; Suatu Pengantar. Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 1993.
ZTF, Pradana Boy (Ed. dan pent), Agama Empiris; Agama dalam
Pergumulan Realitas Sosial, Cet. I, Yogyakarta:
Pustaka Pelajar dan Pustaka LP21F, 2002
Http://www/belajar
islam.com/fenomenologi-Islam-fenomenlogi/
[1] Mariasusai Dhavamony, Fenomenologi Agama terj.
Tim Studi Agama Drikarya (Yogyakarta: Kanisius, 1995), hlm. 21
[2] Mukti Ali, “Metodologi
Ilmu Agama Islam” dalam Taufik Abdullah & M. Rusli Karim Metodologi…,
hlm. 56.
[3] Http://www/belajar
islam.com/fenomenologi-Islam-fenomenologi/
[4] Taufik Abdullah, kata pengantar dalam Taufik Abdullah
& M. Rusli Karim (ed.), Metodologi Penelitian Agama; Suatu
Pengantar (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2004), hlm. 10-12
[5] Soejono
Soekanto, Sosiologi; Suatu Pengantar, (Jakarta: PT. Grafindo
Persada, 1993), hlm. 18.
[6] Frederick M. Denny, “Ritual Islam: Perspektif dan
Teori”, dalam Richard C. Martin (ed).Pendekatan Kajian Islam dalam Studi
Agama, Terj. Zakiyuddin Bhaidawy, Cet. II, (Surakarta: Muhammadiyah
University Press, 2002), hlm. 105.
[7] Permata, Ahmad Norma (Ed. dan pent), Metodologi Studi
Agama, Cet. I, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000, hlm.20
[8] Clive Erricker, “Pendekatan Fenomenologis” dalam Peter
Connolly (ed.), Aneka Pendekatan Studi Agama terj. Imam Khoiri
(Yogyakarta: LkiS, 2009), hlm. 110
[9] Clive Erricker, “Pendekatan Fenomenologis…,
hlm. 111
[10] Noeng Muhadjir, Metodologi Penelitian
Kualitatif (Yogyakarta: Rake Sarasin, 1989), hlm. 19., 183-185
[11] Clive Erricker, “Pendekatan
Fenomenologis…, hlm. 114-115
[12] Dalam pemetaan Atho Mudzhar, scripture atau
naskah-naskah dan simbol agama, penganut, pemimpin atau pemuka agama (sikap,
perilaku dan penghayatan), ritus-ritus, lembaga, dan ibadah-ibadah (shalat,
puasa, haji, pernikahan dan waris), alat-alat (masjid, gereja, lonceng, peci
dan sebagainya). Lihat Atho Mudzhar, Pendekatan Studi Islam dalam Teori
dan Praktek (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), hlm. 13-14.
[13] Richard C. Martin, Pendekatan
Kajian Islam dalam Studi Agama, alih bahasa Zakiyuddin Bhaidawy, cet.
Ke-2 (Surakarta, Muhammadiyah University Press, 2002), hlm. 8-9.
[14] Romdon. Metodologi Ilmu Perbandingan Agama. Jakarta: Grafindo Persada.1996. Hlm. 83
[15] Romdon. Metodologi,,,hlm. 84
No comments:
Post a Comment