Tuesday, October 14, 2014

pendekatan fenomenologi




BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah
Istilah fenomena sudah menjadi sebuah kata yang tidak asing lagi di telinga kita. Namun yang menjadi pertanyaan, apakah hanya sekedar kata yang sudah biasa di pakai atau hanya sebuah istilah yang menjadi kata penghias dalam pembicaraan. Pada milenium ketiga ini, banyak fenomena-fenomena yang terjadi, baik secara langsung kita sadari maupun yang tidak kita sadari. Fenomena-fenomena yang “masih panas” dan menjadi persoalan yang kerapkali diperbincangkan dalam media masa; salah satunya tentang “global warming”. Adapun fenomena yang baru saja kita alami yakni bencana alam. Khususnya di Indonesia kita dapat melihat fenomena-fenomena alam yang sering menimpa negeri kita yang tercinta ini. Fenomena alam yang tidak diketahui kapan dan apa yang menyebabkannya terjadi, antara lain misalnya saja; meluapnya lumpur Lapindo di Sidoarjo dan gelombang Tsunami di Aceh. Memang kita yakin bahwa penyebabnya ialah keserakahan dan ketidakpuasan manusia akan sumber daya alam. Dalam hal ini, ketidakpuasan dari manusia akan kebutuhan hidup
Agama adalah ekspresi simbolik yang bermacam-macam dan juga merupakan respon seseorang terhadap sesuatu yang dipahami sebagai nilai yang tidak terbatas. Ekspresi simbolik merupakan karakteristik utama dalam memahami makna agama. Dengan demikian, tema pokok penelitian ilmiah terhadap agama adalah fakta agama dan pengungkapannya atau dalam bahasa sederhananya upaya menjadikan agama sebagai sasaran penelitian. Data-data yang digunakan diperoleh melalui pengamatan terhadap kehidupan dan kebiasaan keagamaan manusia ketika mengungkapkan sikap-sikap keagamaannya dalam tindakan-tindakan seperti doa, ritual-ritual, konsep-konsep religiusnya, kepercayaan terhadap yang suci dan sebagainya. Meskipun membicarakan hal yang sama, berbagai disiplin mengamati dan meneliti dari aspek-aspek tertentu yang sesuai dengan tujuan dan jangkauannya.[1]
Penelitian agama tidak cukup hanya bertumpu pada konsep agama (normatif) atau hanya menggunakan model ilmu-ilmu sosial, melainkan keduanya saling menopang. Peneliti yang sama sekali tidak memahami agama yang diteliti, akan mengalami kesulitan karena realitas harus dipahami berdasarkan konsep agama yang dipahami.[2] Berangkat dari permasalahan tersebut, pendekatan-pendekatan metodologis dalam studi atau kajian tentang agama secara terus menerus mendapat perhatian cukup besar dari para intelektual agama. Dalam perkembangannya kemudian dirumuskan berbagai pendekatan yang diadopsi atau berdasarkan disiplin-disiplin keilmuan tertentu seperti sejarah, filsafat, psikologi, antropologi, sosiologi termasuk juga fenomenologi. Pendekatan yang diupayakan untuk sekilas dibahas dalam tulisan ini adalah pendekatan fenomenologi agama, dalam pengertian sebuah kajian yang dilakukan untuk memahami esensi (makna) dan atau melalui manifestasi fenomena keagamaan dari agama tertentu.

B.     Rumusan Masalah
Dari latar belakang masalah diatas dapat disusun sebuah rumusan masalah sebagai berikut :
1.      Siapa tokoh yang mencetuskan pendekatan Fenomenologi dan bagaimana pengertian dari pendekatan fenomenologi agama itu?
2.      Bagaimana cara kerja fenomenologi agama dalam studi agama?
3.      Bagaimana agama di pandang oleh pendekatan ini dan siapa yang menciptakan agama pada pendekatan ini, dan contoh kasus yang dapat di selesaikan dengan pendekatan ini?

















BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Fenomenologi
Kata fenomenologi berasal dari bahasa Yunani, phenomenon, yaitu sesuatu yang tampak, yang terlihat karena berkecakupan. Dalam bahasa indonesia biasa dipakai istilah gejala. Secara istilah, fenomenologi adalah ilmu pengetahuan (logos)tentang apa yang tampak. Dari pengertian tersebut dapat dipahami bahwa fenomenologi adalah suatu aliran yang membicarakan fenomena atau segala sesuatu yang tampak atau yang menampakkan diri. Seorang Fenomenolog suka melihat gejala Fenomenolog bergerak di bidang yang pasti. Hal yang menampakkan dirinya dilukiskan tanpa meninggalkan bidang evidensi yang langsung. Fenomenologi adalah suatu metode pemikiran, “a way of looking at things”. Pendekatan fenomenologis memusatkan perhatian pada pengalaman subyektif. Pendekatan ini berhubungan dengan pandangan pribadi mengenai dunia dan penafsiran mengenai berbagai kejadian yang dihadapinya. Pendekatan tersebut mencoba memahami kejadian fenomenal yang dialami individu tanpa adanya beban prakonsepsi.[3]
menurut Taufik Abdullah, setidaknya penelitian agama pada umumnya bermuara pada tiga poin utama, yaitu:
1.      Menempatkan agama sebagai doktrin yang berangkat dari keinginan mengetahui esensi ajaran dan kebenaran agama, sebagaimana dilakukan para mujtahid dan pemikir agama. Dalam hal ini kajian didalamnya adalah ilmu-ilmu keagamaan atau juga perbandingan agama (religionwissenschaft)
2.      Memahami struktur dan dinamika masyarakat agama, dimana agama merupakan awal dari terbentuknya suatu komunitas atau kesatuan hidup yang diikat oleh keyakinan akan kebenaran hakiki yang sama dan memungkinkan berlakunya suatu patokan pengetahuan yang juga sama. Sehingga, meskipun berasal dari suatu ikatan spiritual, para pemeluk agama membentuk masyarakat sendiri yang berbeda dari komunitas kognitif lainnya. (sosiologi, antropologi, sejarah dst.)
3.      Mengungkapkan sikap anggota masyarakat terhadap agama yang dianutnya (psikologi agama). Jika kategori pertama mempersoalkan substansi ajaran dengan segala refleksi pemikiran terhadap ajaran; kategori kedua meninjau agama dalam kehidupan sosial dan dinamika sejarah; kategori ketiga adalah usaha untuk mengetahui corak penghadapan masyarakat terhadap simbol dan ajaran agama.[4]

B.     Tokoh Dalam Pendekatan Fenomenologi
Mengkaji fenomena keagamaan berarti mempelajari perilaku manusia dalam kehidupannya beragama. Ilmu pengetahuan social dengan caranya masing masing, atau metode, teknik, dan peralatannya, dapat mengamati dengan cermat perilaku manusia itu.[5] Sehingga dimungkinkan ditemukannya segala unsur yang menjadi komponen terjadinya perilaku itu, juga “makna terdalam dan substansi sejati” yang tersembunyi dibalik gejala tersebut. Hal ini sudah barang tentu berlaku juga untuk semua fenomena keberagamaan (religious phenomenon) manusia.
Untuk pertama kali, untuk melacak tokoh-tokoh yang berperan penting melahirkan fenomenologi dalam pengertiannya yang generik dan fenomenologi agama sebagai “anak kandungnya, maka seyogianya dimulai dari filsof Swiss.[6] Dalam kerja penelitiannya, fenomenologi dapat mengacu pada tiga hal, yaitu: filsafat, sejarah, dan pada pengertian yang lebih luas. Dengan demikian “fenomenologi agama” dalam acuan yang pertama menghubungkan dirinya sebagai salah satu disiplin ilmu. Adapun acuan yang kedua memasukkan pendapat tentang sejarah agama.
Dengan sendirinya mereka mempergunakan religi sederhana sebagai data, dan meletakkan ekspresi keagamaan dalam bentuk simbol seperti bentuk-bentuk upacara keagamaan sebagai fokus perhatiannya. Acuan ketiga adalah penerapan metode fenomenologi secara lebih luas. Metode ini biasa diterapkan dalam menelaah atau meneliti ajaran-ajaran, kegiatan-kegiatan, lembaga-lembaga, tradisi-tradisi, dan simbol-simbol keagamaan. Edmund Husserl memproklamasikan filsafat fenomenologi, yaitu oleh Chantaphus de la Saussaye, ahli studi agama dari Belanda, dalam bukunya Lehrbuch der Religionsgechichte (1887). Namun dalam perkembangannya ia memang sangat dipengaruhi metode fenomenologi filosofis Husserlian, melalui apoche dan eidetic vision. Meski sempat dianggap metode paling memadai untuk mengkaji inti atau hakikat agama, metode ini dihujani kritik yang bertubi-tubi semenjak pasca perang dunia II, karena dianggap terlalu mereduksi hakikat agama kepada struktur pengalaman keagamaan yang platonik.[7]

C.    Pengertian Fenomenologi Agama
1.      Menurut G.W.F. Hegel
Dalam bukunya “The Phenomenology of The Spirit” yang diterbitkan pada 1806, Hegel berpendapat bahwa fenomenologi berkaitan dengan pengetahuan sebagaimana tampak kepada kesadaran, sebuah ilmu yang menggambarkan apa yang dipikirkan, dirasa dan diketahui oleh seseorang dalam kesadaran dan pengalamannya pada saat itu. Proses tersebut mengantarkan pada perkembangan kesadaran fenomenal melalui sains dan filsafat “menuju pengetahuan yang absolut.” Hegel mengembangkan pemahaman bahwa esensi (wesen) dipahami melalui penyelidikan terhadap tampilan-tampilan dan perwujudan atau manifestasi (erschinugnen). Ia menunjukkan bagaimana hal itu mengantarkan kepada satu pemahaman bahwa semua fenomena dalam keberagamannya, berakar pada esensi atau kesatuan mendasar (geist atau spirit). Hubungan antara esensi dan manifestasi tersebut memberikan pemahaman bahwa agama dan keagamaan merupakan sesuatu yang berbeda.[8]
2.      Edmund Husserl
Edmund Husserl, seorang filsuf Austria adalah tokoh yang dianggap memberikan landasan filosofis pendekatan intuitif non-empiris dalam fenomenologi. Dalam beberapa bukunya “Logische Unterschungen,” “Ideen zu einer reinen Phanomenologie,” “Formale und transzendentale Logik” dan “Erfahrung und Urteil” ia mengatakan rumusan tersebut berangkat dari mainstream pemikiran pada saat itu bahwa “science alone is the ultimate court of appeal” (sains adalah satu-satunya pengadilan tertinggi). Hal itu menunjukkan bahwa metode ilmiah adalah satu-satunya metode untuk mencapai kebenaran dan mengesampingkan pengetahuan-pengetahuan yang lain.
Menurut Husserl, fenomenologi merupakan sebuah kajian tentang struktur kesadaran yang memungkinkan kesadaran-kesadaran tersebut menunjuk kepada objek-objek diluar dirinya. Dari sana Ia kemudian memunculkan istilah “reduksi fenomenologis.” Bahwa suatu pikiran bisa diarahkan kepada objek-objek yang non-eksis dan riil. Reduksi fenomenologis tidak menganggap bahwa sesuatu itu ada, melainkan terdapat “pengurangan sebuah keberadaan,” yaitu dengan mengesampingkan pertanyaan tentang keberadaan yang riil dari objek yang dipikirkan. Berangkat dari asumsi tersebut Husserl kemudian merumuskan dua konsep yang kemudian menjadi landasan utama dalam kajian fenomenologi. Dua konsep tersebut adalah epochè dan eiditic vision.
a.       Epoche Vision. Kata epochè berasal dari bahasa Yunani berarti “menunda semua penilaian” atau “pengurungan” (bracketing). Hal ini berarti bahwa fenomena yang tampil dalam kesadaran adalah benar-benar natural tanpa dicampuri oleh presuposisi pengamat. Karena pada dasarnya membawa konsep-konsep dan konstruk-konstruk pandangan adalah sesuatu yang mempengaruhi dan merusak hasil penilaian.
b.      Eidetic vision berarti “yang terlihat” atau pengandaian terhadap epochè yang merujuk pada pemahaman kognitif (intuisi) tentang esensi, ciri-ciri yang penting dan tidak berubah dari satu fenomena yang memungkinkan untuk mengenali fenomena tersebut.[9]

D.    Fenomenologi Agama
Fokus utama fenomenologi agama adalah aspek pengalaman keagamaan, dengan mendeskripsikan atau menggambarkan fenomena keagamaan secara konsisten dalam orientasi keimanan atau kepercayaan objek yang diteliti. Pendekatan ini melihat agama sebagai komponen yang berbeda dan dikaji secara hati-hati berdasarkan sebuah tradisi keagamaan untuk mendapatkan pemahaman di dalamnya. Fenomenologi agama muncul dalam upaya untuk menghindari pendekatan-pendekatan yang sempit, etnosentris dan normatif dengan berupaya mendeskripsikan pengalaman-pengalaman agama dengan akurat.
Menurut Noeng Muhadjir, secara ontologis pendekatan fenomenologi dalam penelitian agama mengakui empat kebenaran (sensual, logik, etik, transendental). Hanya saja kebenaran transenden dibedakan antara kebenaran insaniyah dan kebenaran ilahiyah. Kebenaran ilahiyah diperoleh dengan menafsirkan dan mengembangkan maknanya akan tetapi tetap tidak mampu menjangkau kebenaran substansialnya. Selain itu menurutnya, jika positivisme menekankan objektivitas mengikuti metode-metode ilmu alam (natural sciences) dan bebas nilai (value free), maka fenomenologi memiliki landasan dan berorientasi pada nilai-nilai (value-bound) seperti kemanusiaan dan keadilan.[10]
Dalam pandangan Kristenen, fenomenologi agama merupakan cabang, disiplin atau metode khusus dalam kajian-kajian agama. Jika fenomenologi Saussaye lebih dipengaruhi oleh sejarah, Kristenen berpendapat bahwa sejarah agama dan filsafat saling berhubungan dan mempengaruhi sebagai pelengkap kajian fenomenologi. Sebagaimana Saussaye, Kristenen berpendapat bahwa tujuan utama fenomenologi agama adalah mencari “makna” fenomena keagamaan. Hanya saja Kristenen menambahkan bahwa pencarian makna fenomena keagamaan tersebut adalah dalam konteks keimanan masing-masing orang. Kristenen juga berpendapat bahwa tidak cukup hanya dengan mengelompokkan atau mengklasifikasikan fenomena sebagaimana dipahami oleh masing-masing tradisi keagamaan, akan tetapi juga dituangkan dalam sebuah pemahaman.[11]

E.     Cara Kerja Pendekatan Fenomenologi Agama
Setidaknya ada enam langkah atau tahapan pendekatan fenomenologi dalam studi agama yang ditawarkan oleh Geradus Van der Leeuw dalam bukunya “Religion in essence and manifestationA study in phenomenology of religion:
1.      Mengklasifikasikan fenomena keagamaam dalam kategorinya masing-masing seperti kurban, sakramen, tempat-tempat suci, waktu suci, kata-kata atau tulisan suci, festival dan mitos. Hal ini dilakukan untuk dapat memahami nilai dari masing-masing fenomena.
2.      Melakukan interpolasi dalam kehidupan pribadi peneliti, dalam arti seorang peneliti dituntut untuk ikut membaur dan berpartisipasi dalam sebuah keberagamaan yang diteliti untuk memperoleh pengalaman dan pemahaman dalam dirinya sendiri.
3.      Melakukan “epochè” atau menunda penilaian (meminjam istilah Husserl) dengan cara pandang yang netral.
4.      Mencari hubungan struktural dari informasi yang dikumpulkan untuk memperoleh pemahaman yang holistik tentang berbagai aspek terdalam suatu agama.
5.      Tahapan-tahapan tersebut menurut Van der Leeuw secara alami akan menghasilkan pemahaman yang asli berdasarkan “realitas” atau manifestasi dari sebuah wahyu.
6.      Fenomenologi tidak berdiri sendiri (operate in isolation) akan tetapi berhubungan dengan pendekatan-pendekatan yang lain untuk tetap menjaga objektivitas.[12]
F.     Agama dalam pendekatan Fenomenologi dan siapa yang Menciptakan Agama, serta Contoh kasus yang dapat diselesaikan oleh Pendekatan Fenomenologi
Fenomenologi pada dasarnya merupakan kritik terhadap ilmu-ilmu lama yang dianggap kaku. Dalam pendekatan fenomenologi Islam tidak lagi dipahami hanya dalam pengertian historis dan doktriner saja, tetapi telah menjadi fenomena yang kompleks. Islam tidak hanya terdiri dari rangkaian petunjuk formal, melainkan telah menjadi sebuah sistem budaya, peradaban, komunitas politik, ekonomi dan bagian sah dari perkembangan dunia. Mengkaji dan mendekati Islam, tidak lagi mungkin hanya dari satu aspek, karenanya dibutuhkan metode dan pendekatan interdisipliner. Dengan demikian, studi Islam layak untuk dijadikan sebagai salah satu cabang ilmu favorit. Artinya studi Islam telah mendapat tempat dalam percaturan dunia ilmu pengetahuan.
Dalam studi agama terdapat dua aspek yang harus dibedakan, yaitu apa yang disebut dengan general pattern dan particular pattern. General pattern adalah sesuatu yang pasti ada pada setiap agama, di luar kemampuan pemeluknya, seperti: kepercayaan, ritual, teks suci, leadership, histori serta konstitusi, dan morality, inilah yang disebut dengan fundamental structure dari agama. Seorang peneliti harus bersifat obyektif dalam mengkaji hal tersebut. Ketika general pattern tersebut dirinci maka lahirlah apa yang dinamakan particular pattern. Setiap agama memiliki particular pattern yang berbeda, misalnya dalam hal kepercayaan Islam mempunyai konsep tauhid sedangkan Kristen berpegang konsep pada trinitas, dalam hal ibadah Islam mempunyai sholat sedangkan Kristen mempunyai kebaktian. Dalam menilai particular pattern ini lebih banyak peneliti yang bersifat subyektif karena berhubungan langsung dengan keyakinan dirinya. Jadi pendekatan fenomenologi dapat diartikan sebagai upaya-upaya yang dilakukan untuk melahirkan satu disiplin tersendiri yang bersifat obyektif dalam kajian agama yang disertai dengan metodologi tersendiri pula. Mudahnya, pendekatan fenomenologi adalah pendekatan yang mencoba menggabungkan sifat obyektif dan subjektif yang ada dalam diri setiap pengkaji agama.
Terdapat dua hal penting yang menjadi karakteristik pendekatan fenomenologi,karakteristik pertama, pentingnya netralitas. Artinya studi agama dengan pendekatan fenomenologi lebih menekankan upaya pemahaman seorang pengkaji agama terhadap agama yang dianut orang lain. Dengan demikian, seorang pengkaji diharapkan untuk sementara mengesampingkan pemahaman dan komitmen terhadap agama yang dianut, dan pada waktu yang sama mencoba mendekati agama orang lain berdasarkan pemahaman dan pengalaman penganut agama itu sendiri. Karakteristik kedua adalah  mengklasifikasi fenomena menembus batas-batas komunitas agama, budaya, dan bahkan kategorisasi- kategorisasi peristiwa sejarah (epoch).[13]
Dalam kenyatannya, pendekataan fenomenologi ini tidak dapat berdiri sendiri, akan tetapi membutuhkan bantuan pendekatan-pendekatan yang lain, seperti: kalam, antropologi, hermeneutic, sosiologi, histori, dan yang lain. Cara fenomenologi mengetahui fakta atau data dengan kata lain bagaimana cara fenomenologi memperoleh pengetahuan. Caranya adalah dengan menatap langsung kejadian atau keadaan atau benda atau realitas yang menggejala. Menurut Prof.Dr.N Driyarkaya membuat uraian tentang fenonenologi dalam bukunya adalah :
         Fenomenologi adalah terusan dari fenomenon dan logos, kata logos yang disini yang menjadi logi tak perlu diterangkan karena sudah dikenal dalam banyak susunan seperti sosiologi, etnologi, biologi dan lainya.  Jadi fenomenologi berrti uraian atau percakapan tentang fenomenon atau yang sedang menampilkan diri. Menurut cara berfikir berbicara filsafat dewasa ini dapat juga dikatakan sesuatu hal ynag menggejala.
Kutipan diatas menegaskan bahwa objek fenomenologi itu adalah fakta atau gejala atau keadaan, kejadian atau benda atau realitas yang sedang menggejala. Realitas yang menggejala itu akan diambil pengertiannya menurut tuntunan realitas itu sendiri, artinya pengertian yang sebenarnya dari realitas itu, misalkan pengertian yang sudah terpengaruh oleh warna sesuatu teori tertentu atau pengertian yang popular sebelumnya.[14]
Menurut Prof.Dr.N Driyarkaya, Edumund Husserl (1859 – 1983) sebenarnya bertujuan akan menerangkan bahwa pengertian atau pengetahuan manusia benar-benar ada dan mempunyai obyek. Hussel berangkat dari pendapat  bahwa manusia itu dapat mengkap realitas dengan cara yang alam, dengan spontan dengan bermacam-macam cara penggunaan indera, melihat, mendengar, maraba dan menangkap dunia. Tetapi menurut pandangannya bahwa pengetahuan tentang obyek realitas dengan alami atau spontan demikian itu, belum cukup bagi filosof. Filosof ingin memperoleh kebenaran yang sempurna dengan cara meneruskan pengetahuan spontan tersebut dengan merenungkannya dan memikirkannya. Pengetahuan spontan diyakini masih mengandung unsur-unsur subjektif. Dari harus ditinggalkan, artinya tidak dipakai sebelum diperoleh pengetahuan yang lebih mendalam. Terhadap pengetahuan spontan demikian itu harus diadakan penyaringan, harus diadakan reduksi. Sehingga nantinya akan tinggal fenomenon dalam wujud yang semurni-murninya. Pengetahuan fenomenon yang murni dan asli, realitas yang murni dan yang asli. Pengetahuan spontan tentang realitas bukanlah pengetahuan yang sebenar-benarnya. Realitas murni dan sebenarnya berada di balik fenomenon yang menggejala yang kita tatap dengan langsung itu. Filosofis ingin menemukan realitas yang murni yang berada di balik realitas yang menggejala itu. Ini adalah tujuan Husserl dengan fenomenologinya.[15]
G.    Contoh Kasus
1.      Berjihad dengan melakukan bom bunuh diri yang dilakukan Imam Samudera dan kawan-kawan yang menurut saya merupakan sebuah fenomenologi agama yang perlu ditelusuri lebih dalam apa yang menjadi penyebabnya.
Kalau kita telusuri dengan pendekatan fenommenologi dapat saya uraikan sebagai berikut :
a.       Jihad menurut Imam Samudera dkk itu apa ?
b.      Tujuan dari pengeboman yang mereka lakukan untuk apa ?
c.       Sasaran pengeboman mereka siapa ?
d.      Siapa musuh mereka ?
Dari beberapa pertanyaan diatas kita dapat memahami bahwa pendekatan fenomenologi tidak bisa seorang peneliti langsung menarik kesimpulan, harus banyak muncul pertanyaan terlebih dahulu. Setelah sudah cukup banyak mendapat inti sari baru temukan esensi dan ciri-ciri yang kemudian kita berikan titik temunya. Hal itu dilakukan sesuai dengan teori  menurut Edmund Husserl yang merumuskan 2 konsep, yakni Epoche Vision dan Eiditic Vision.



BAB III
KESIMPULAN

Fenomenologi berasal dari bahasa Yunani pahainomenon yang berarti gejala atau apa yang menampakkan diri pada kesadaran kita.Beberapa tokoh menguraikan bahwa,setidaknya fenomenologi agama dapat dipetakan dalam tiga arus besar, yaitu: (1) fenomenologi agama diartikan sebagai sebuah investigasi terhadap fenomena-fenomena atau objek-objek, fakta-fakta dan peristiwa agama yang bisa diamati; (2) fenomenologi diartikan sebagai sebuah kajian komparatif dan klasifikasi tipe-tipe fenomena agama yang berbeda; dan (3) fenomenologi agama diartikan sebagai cabang, disiplin atau metode khusus dalam kajian-kajian agama. Singkatnya, pendekatan fenomenologi ialah ingin menempatkan pengetahuan pada pengalaman manusia serta mengaitkan pengetahuan dengan hidup dan kehidupan manusia sebagai konteksnya.
Langkah-langkah penelitian yang akan dilakukan diharapkan akan menghasilkan :
1.      Deskripsi tentang tidak saja ajaran, tetapi juga berbagai bentuk ekspresi keagamaan yang bersifat tata-upacara, simbolik atau mistis.
2.      Deskripsi tentang hakikat kegiatan keagamaan, khususnya dalam hubungannya dengan bentuk ekspresi kebudayaan.
3.      Deskripsi tentang perilaku keagamaan, berupa; Deskripsi ontologis dan deskripsi psikologis





DAFTAR PUSTAKA
Abdullah Taufik & M. Rusli Karim (ed.), Metodologi Penelitian Agama; Suatu Pengantar .Yogyakarta: Tiara Wacana, 2004
Dhavamony, Maria susai. Fenomenologi Agama terj. Tim Studi Agama Drikarya .Yogyakarta : Kanisius,1995
Erricker Clive. Pendekatan Fenomenologis dalam Peter Connolly (ed.), Aneka Pendekatan Studi Agama.Yogyakarta: LkiS, 2009
Martin, Richard C. (Ed)., Pendekatan Kajian Islam dalam Studi Agama., Terj. Zakiyuddin Bhaidawy, Cet. II, Surakarta: Muhammadiyah University Press, 2002
Mudzhar ,Atho. Pendekatan Studi Islam dalam Teori dan Praktek .Yogyakarta: Pustaka  Pelajar, 2007
Muhadjir Noeng. Metodologi Penelitian Kualitatif. Yogyakarta: Rake Sarasin, 1989
Permata, Ahmad Norma (Ed. dan pent), Metodologi Studi Agama, Cet. I, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000
Romdon. Metodologi Ilmu Perbandingan Agama. Jakarta: Grafindo Persada, 1996
Soekanto, Soejono, Sosiologi; Suatu Pengantar. Jakarta: PT. Raja Grafindo  Persada, 1993.
ZTF, Pradana Boy (Ed. dan pent), Agama Empiris; Agama dalam Pergumulan Realitas Sosial, Cet. I, Yogyakarta: Pustaka Pelajar dan Pustaka LP21F, 2002
Http://www/belajar islam.com/fenomenologi-Islam-fenomenlogi/








[1] Mariasusai Dhavamony, Fenomenologi Agama terj. Tim Studi Agama Drikarya (Yogyakarta: Kanisius, 1995), hlm. 21
[2] Mukti Ali, “Metodologi Ilmu Agama Islam” dalam Taufik Abdullah & M. Rusli Karim Metodologi…, hlm. 56.
[3] Http://www/belajar islam.com/fenomenologi-Islam-fenomenologi/
[4] Taufik Abdullah, kata pengantar dalam Taufik Abdullah & M. Rusli Karim (ed.), Metodologi Penelitian AgamaSuatu Pengantar (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2004), hlm. 10-12
[5] Soejono Soekanto, Sosiologi; Suatu Pengantar, (Jakarta: PT. Grafindo Persada, 1993), hlm. 18.
[6] Frederick M. Denny, “Ritual Islam: Perspektif dan Teori”, dalam Richard C. Martin (ed).Pendekatan Kajian Islam dalam Studi Agama, Terj. Zakiyuddin Bhaidawy, Cet. II, (Surakarta: Muhammadiyah University Press, 2002), hlm. 105.
[7] Permata, Ahmad  Norma (Ed. dan pent), Metodologi Studi Agama, Cet. I, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000, hlm.20
[8] Clive Erricker, “Pendekatan Fenomenologis” dalam Peter Connolly (ed.), Aneka Pendekatan Studi Agama terj. Imam Khoiri (Yogyakarta: LkiS, 2009), hlm. 110
[9] Clive Erricker, “Pendekatan Fenomenologis…, hlm. 111
[10] Noeng Muhadjir, Metodologi Penelitian Kualitatif (Yogyakarta: Rake Sarasin, 1989), hlm. 19., 183-185
[11] Clive Erricker, “Pendekatan Fenomenologis…, hlm. 114-115
[12] Dalam pemetaan Atho Mudzhar, scripture atau naskah-naskah dan simbol agama, penganut, pemimpin atau pemuka agama (sikap, perilaku dan penghayatan), ritus-ritus, lembaga, dan ibadah-ibadah (shalat, puasa, haji, pernikahan dan waris), alat-alat (masjid, gereja, lonceng, peci dan sebagainya). Lihat Atho Mudzhar, Pendekatan Studi Islam dalam Teori dan Praktek (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), hlm. 13-14.
[13] Richard C. Martin, Pendekatan Kajian Islam dalam Studi Agama, alih bahasa Zakiyuddin Bhaidawy, cet. Ke-2 (Surakarta, Muhammadiyah University Press, 2002), hlm. 8-9.
[14] Romdon.  Metodologi Ilmu Perbandingan Agama. Jakarta: Grafindo Persada.1996. Hlm. 83
[15] Romdon.  Metodologi,,,hlm. 84

No comments:

Post a Comment